Berjumpa dengan bulan Ramadan
merupakan kenikmatan yang sangat besar, yang selayaknya seorang muslim
benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang
yang terhalang dari nikmat yang besar ini, baik dikarenakan ajal telah
menjemput mereka atau karena ketidakmampuan mereka beribadah
sebagaimana mestinya pleh sebab sakit atau yang lainnya, ataupun karena
mereka sesat dan apatis terhadap bulan yang mulia ini. Maka, hendaknya
seorang muslim
bersyukur kepada Allâh atas karunia-Nya ini dan berdoa kepada-Nya agar
dianugerahi kesungguhan dan semangat dalam mengisi bulan yang mulia ini
dengan ibadah dan dzikir kepada-Nya.
Yang menyedihkan, banyak orang yang tidak mengerti kemuliaan bulan suci
ini, mereka tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen
pahala yang banyak dari Allâh dengan banyak beribadah, bersedekah, dan
membaca Al-Qur`ân. Namun bulan yang agung ini mereka jadikan sebagai
musim yang menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman
dan menyibukkan kaum ibu untuk terus berkutat dengan dapur.
Sebagian yang lain tidaklah mengetahui bulan yang suci ini melainkan
sebagai bulan untuk begadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian di siang
harinya terlelap oleh mimpi. Bahkan ada diantara mereka yang terlambat
untuk sholat berjamaah di masjid, ataupun tatkala sholat di masjid dia
berangan-angan agar sang imam segera salam.
Sebagian yang lain tidaklah mengenal bulan yang suci ini kecuali
merupakan musim untuk mengeruk duit yang sebanyak-banyaknya.
Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya dalam rangka memperoleh
kesempatan mengeruk dunia[1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual
beli di bulan suci ini, menekuni pasar dan meninggalkan masjid.
Kalaupun mereka sholat di masjid, mereka sholat dalam keadaan
terburu-buru. Wallâhul musta’ân…[2]
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan yang suci ini, maka dia
akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat
merasakan keagungan bulan suci ini sehingga kehadirannya selalu
dinanti-nanti oleh mereka, bahkan jauh-jauh sebelumnya mereka telah
mempersiapkan perjumpaan itu. Berkata Mu’allâ bin Al-Fadhl, ”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allâh selama enam bulan agar Allâh mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhân…”[3]
Pujilah Allâh dan bersyukurlah kepada-Nya karena telah mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhân dalam keadaan tenteram dan damai.
Renungkanlah… bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina,
Chechnya, Afghanistan, Iraq, dan negeri-negeri yang lainnya…
Bagaimanakah keadaan mereka menyambut bulan suci ini?? Musibah demi
musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan
tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini. Dengan beraneka ragam
makanan kita berbuka puasa… lantas dengan apakah saudara-saudara kita
di Somalia berbuka puasa… mereka terus menghadapi bencana busung
lapar.[4]
Ramadhân adalah kesempatan emas untuk menjadi orang yang bertakwa
Allâh Ta’alâ berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS 2:183)
Berkata Syaikh ‘Utsaimîn rahimahullâhu : لَعَلَّ adalah untuk ta’lîl (menjelaskan
sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa yaitu
agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allâh. Inilah
hikmah (yang utama) dari ibadah puasa, adapun hikmah-hikmah puasa yang
lainnya seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial maka
hanyalah mengekor (bukan hikmah yang utama-pen)”[5]
Betapa banyak manusia di zaman ini jika dikatakan kepada mereka
“Bertakwalah engkau kepada Allâh!” maka merah padamlah wajahnya dan
kedua pipinya mengembang karena marah dan tertipu dengan dirinya
sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allâh sehingga
merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allâh.
Berkata Ibnu Mas’ûd Radhiyallâhu ‘Anhu, “Cukuplah
sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “Bertakwalah kepada
Allâh”, lantas ia berkata,”Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu sok
mau menasehatiku??!”
Pada suatu hari Kholifah Hârûn Ar-Rosyîd
keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh dengan hiasan, lalu
berkata seorang yahudi kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah
engkau kepada Allâh!”. Maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud
kepada Allâh di atas tanah dengan penuh tawâdhû’ dan khusyû’.
Lalu diapun memerintahkan agar kebutuhan orang yahudi tersebut
dipenuhi. Tatkala ditanyakan kepadanya kenapa dia berbuat demikian,
beliau berkata, ”Tatkala saya mendengar perkataan orang yahudi tersebut
saya ingat firman Allâh
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya “Bertakwalah kepada Allâh”,
bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berrbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu
tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS 2:206),
Maka saya khawatir saya adalah orang yang disebut Allâh tersebut.”[6]
Oleh karena itu puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allâh.
Berkata sebagian salaf, “Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum.” Berkata Jâbir, ”Jika
engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu
juga ikut berpuasa…dan janganlah engkau menjadikan keadaanmu tatkala
berpuasa seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa”.[7]
Berkata Abûl ‘Aliah,”Orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya selama tidak melakukan ghibah (menggunjing) kepada orang lain”[8]
Berkata Syaikh As-Sudais,”Dan apakah mereka telah
merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya
puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allâh)?, ataukah masih banyak
diantara mereka yang tidak tahu hikmah disyari’atkannya puasa dan
melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang
bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari
makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang lahiriyah??”[9]
Beliau juga berkata, “Sebagian orang tidak mengetahui hakekat puasa,
mereka hanya membatasi makna puasa yaitu menahan diri dari makan dan
minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah
(kejahatan) lisannya sehingga terjerumus dalam ghîbah, namîmah,
dan dusta. Demikian juga mereka membiarkan telinga dan mata mereka
jelalatan sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhori
telah meriwayatkan sebuah hadits dalam shahih beliau bahwasanya
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[10] serta berbuat kebodohan[11] maka Allâh tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya”[12]”[13]
Berkata Ibnu Rajab, ”Barangsiapa yang di bulan
Ramdhan ini tidak beruntung maka kapan lagi dia bisa beruntung,
barangsiapa yang di bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya
kepada Allâh maka sungguh dia sangat merugi”[14]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika
dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan diantara tanaman, padahal
sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama
tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya
berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
Puasa merupakan kesempatan untuk membiasakan diri mentadabburi Al-Qur`ân
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al-Qur`ân, meninggalkan membaca Al-Qur`ân atau tatkala membacanya dibaca tanpa ditadabburi kandungan maknanya, hingga jadilah Al-Quran pada sebagian orang sesuatu yang terlupakan[15]. Berkata Ibnu Rajab, “Allâh mencela orang-orang yang membaca Al-Qur`ân tanpa memahami (mentadaburi) maknanya, Allâh berfirman
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al-Kitâb (At-Taurat), kecuali hanya dongengan belaka” (QS: 2:78),
yaitu membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya
Al-Qur`ân adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan bukan
hanya sekedar untuk dibaca”[16]
Tatkala tiba bulan Ramadan, Az-Zuhrî berkata,”Ramadhân itu adalah membaca Al-Qur`ân dan memberi makan (fakir miskin)”
Berkata Ibnu ‘Abdil Hakîm, “Jika tiba bulan Ramadhân, Imam Mâlik menghindar dari membacakan hadits dan bertukarpikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca mushaf Al-Qur`ân”.
Berkata ‘Abdur Razzâq, “Jika masuk bulan Ramadhân, Ats-Tsaurî meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al-Qur`ân”
Berkata Ibnu Rajab, “Para salaf berkonsentrasi
membaca Al-Qur`ân di bulan Ramadhân. Diantara mereka ada yang
mengkhatamkan Al-Qur`ân setiap minggu, diantara mereka ada yang setiap
tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam, bahkan ada
di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir menamatkan
Al-Qur`ân setiap malam. Adapun hadits yang menjelaskan larangan
mengkhatamkan Al-Qur`ân kurang dari tiga hari maka maksudnya jika
dilaksanakan terus menerus. Adapun menamatkan Al-Quran pada waktu-waktu
(tertentu) yang mulia seperti bulan Ramadhân khususnya di malam-malam
yang diharapkan seperti lailatul qodar, demikian juga di tempat-tempat
yang mulia, maka disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur`ân dalam
rangka memanfaatkan kesempatan ketika berada di tempat dan waktu yang
mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka”[17]
Diantara adab-adab tatkala membaca Al-Qur`ân[18]:
1. Hendaknya membaca dengan tartil dangan memperhatikan hukum-hukum tajwîd disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibacanya berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya maka hendaknya dia beristighfâr.
Jika dia melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allâh maka
hendaknya dia meminta kepada Allâh rahmat tersebut, dan jika melewati
ayat-ayat tentang adzab maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada
Allâh dari adzab tersebut. Adapun jika membaca Al-Qur`ân dengan cepat
dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwîd maka sulit untuk mentadabburi
Al-Qur`ân. Bahkan membaca Al-Qur`ân dengan cepat tanpa aturan terkadang
bisa menjadi haram hukumnya jika sampai menimbulkan perubahan
huruf-huruf (yaitu tidak keluar sesuai dengan makhrojnya)
karena ini termasuk bentuk perubahan terhadap Al-Qur`ân. Adapun jika
membaca dengan cepat namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwîd maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al-Qur`ân (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al-Qur`ân walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al-Qur`ân hanya karena ingin
ngobrol dengan teman duduk disampingnya. Sebagian orang jika sedang
membaca Al-Qur`ân kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya maka
diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya
tersebut, dan hal ini merupakan hal yang semestinya tidak dilakukan
karena ini termasuk berpaling dari Al-Qur`ân tanpa adanya kebutuhan.
3. Tidak membaca Al-Quran dengan suara yang keras sehingga
mengganggu orang yang disekitarnya yang sedang membaca Al-Qur`ân juga,
atau sedang sholat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang hal ini.
Dari Abû Sa’îd Al-Khudrî, beliau berkata, “Nabi i’tikâf di masjid lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al-Qur`ân dengan suara yang keras dan Nabi sedang berada dalam tenda i’tikâf-nya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata,
“Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Robbnya maka janganlah
sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, janganlah sebagian
kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al-Qur`ân” atau beliau
berkata,”tatkala (membaca Al-Qur`ân) dalam sholat.”[19]
Ramadhân adalah kesempatan untuk instropeksi diri
‘Umar Al-Farûq berkata,
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! timbanglah diri
kalian sebelum kalian ditimbang!, dan berhiaslah (beramal solehlah)
untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba!”[20]
Allâh berfirman
يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allâh)” (QS 69:18).
Benarlah apa yang diucapkan oleh Al-Farûq,
sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini jauh lebih ringan daripada
hisab Allâh di hari dimana rambut anak-anak menjadi putih. Yang
menghisab adalah Allâh dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang
sifatnya
لاَ يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَلاَ كَبِيْرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang
besar melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka mendapati apa yang
telah mereka kerjakan (di dunia) nampak tertulis. Dan Tuhanmu tidak
menganiaya seorangpun jua” (QS 18:49).
Al-Hasan berkata, “Seorang mukmin adalah
pengendali dirinya, (hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allâh.
Yang menyebabkan suatu kaum hisab mereka ringan di akhirat kelak adalah
karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan hanyalah yang
menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum di hari kiamat kelak adalah
karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhâsabah (di dunia)”[21]
Hakekat dari muhâsabah adalah menghitung dan membandingkan
antara kebaikan dan keburukan, sehingga dengan perbandingan ini
diketahui mana dari keduanya yang terbanyak[22]
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Namun perhitungan ini (muhâsabah)
akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu
cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan pembedaan
antara nikmat dan fitnah (istidrâj).
(Pertama), cahaya hikmah yaitu ilmu yang
dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan,
petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudhorot, yang sempurna dan yang
kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian ia bisa mengetahui
tingkatan amalan mana yang ringan dan mana yang berat, mana yang
diterima dan mana yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada
seseorang maka dia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhâsabah).
(Kedua), adapun berprasangka buruk kepada diri sangat dibutuhkan (dalam muhâsabah),
karena berbaik sangka kepada jiwa mencegah sempurnanya pemeriksaan
jiwa, maka jadinya dia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi
kebaikan dan memandang aibnya adalah suatu kesempurnaan dan tidaklah
berprasangka buruk kepada dirinya kecuali orang yang mengenal dirinya.
Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya maka dia adalah orang
yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
(ketiga), adapun membedakan antara nikmat dan fitnah yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allâh anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih sayang-Nya yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan yang abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidrâj dari Allâh. Betapa banyak orang yang ter-istidrâj
dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga
semakin jauh tersesat dari jalan Allâh-pen) padahal dia tidak menyadari
hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu
dengan keadaannya yang kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang
selalu ditutup oleh Allâh. Kebanyakan manusia menjadikan tiga
perkara (yaitu, pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang
selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan.
Sampai disitulah rupanya ilmu mereka….”
Beliau melanjutkan,”…. Semua kekuatan baik yang nampak maupun yang
batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allâh dan apa yang
diridhoi Allâh maka hal itu adalah karunia Allâh, jika tidak demikian
maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan
untuk menolong agama Allâh dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu
merupakan karunia Allâh, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allâh bukan untuk
mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah
karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka dia hanyalah bumerang
baginya….dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagungan
serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk,
rendah, dan hina dihadapan Allâh, demikian juga disertai pengenalannya
terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati
manusia maka hal ini adalah karunia Allâh. Jika tidak demikian, maka
hanyalah bencana. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati
poin yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara
karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa
banyak ahli ibadah yang berakhlak mulia yang salah paham dan rancu
dalam memahami pembahasan ini.”[23]
Ketahuilah bahwa termasuk penyempurna muhâsabah yaitu
engkau mengetahui bahwa setiap kemaksiatan atau aib yang karenanya
engkau mencela saudaramu maka akan kembali kepadamu. Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya
(kemaksiatannya) maka dia tidak akan mati hingga dia melaksanakan
kemaksiatan tersebut”[24]
Berkata Imam Ahmad menafsirkan hadits ini, “Yaitu (mencelanya karena) dosa/maksiat yang ia telah bertaubat darinya.[25]
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan juga pada suatu pencelaan tersirat rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At-Tirmidzî meriwayatkan juga –secara marfû’- bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda,”Janganlah
engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu
sehingga Allâh merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu”[26].
Dan mungkin juga maksud Nabi bahwa dosa pencelaanmu terhadap saudaramu
lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang
dilakukannya itu adalah oleh sebab pencelaanmu itu menunjukan tazkiyatun nafsi
(memuji diri sendiri) dan mengklaim bahwa engkau selalu diatas ketaatan
dan telah berlepas diri dari dosa dan bahwa saudaramulah yang membawa
dosa tersebut.
Maka bisa jadi penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan
akibat yang timbul setelah itu berupa rasa tunduk dan rendah serta
penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit
pengklaiman sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia
dihadapan Allâh dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, yang
lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan
pengklaimanmu bahwa engkau selalu diatas ketaatan kepada Allâh dan
engkau menganggap bahwa engkau banyak melakukan ketaatan kepada Allâh
bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allâh dan kepada
makhluk-makhluk-Nya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh dekat saudaramu
-yang telah melakukan kemaksiatan- kepada rahmat Allâh. Dan betapa jauh
orang yang ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya
dengan kemurkaan Allâh.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina dihadapan Allâh lebih
disukai Allâh daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa
ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur di malam hari (tidak
melaksanakan sholat malam) kemudian di pagi hari engkau menyesal, lebih
baik dari pada jika engkau sholat malam kemudian di pagi hari engkau
merasa ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang
ujub amalnya tidak sampai kepada Allâh. Engkau tertawa namun engkau
mengakui (kesalahanmu dan kekuranganmu) lebih baik dari pada engkau
menangis namun engkau merasa ujub. Rintihan orang yang berdosa lebih
disukai di sisi Allâh dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun
ujub. Bisa jadi dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu Allâh
berikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh darinya
padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allâh memiliki rahasia dan hikmah yang terdapat pada hamba-hambanya
yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu
kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca
indera manusia. Namun di balik itu ada rahasia Allâh yang tidak
diketahui bahkan oleh para malaikat para pencatat amal.
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
“Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah dia mencelanya”[27]…, karena sesungguhnya penilaian adalah di sisi Allâh dan hukum adalah milik-Nya. Dan tujuannya adalah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut bukan mencelanya….
Allâh telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan
yang paling dekat denganNya (yaitu Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa
Sallam), “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)” (QS 17:74). Nabi Yûsuf telah berkata,”Dan
jika Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang
yang bodoh” (QS 12:33). Dan Nabi paling sering bersumpah dengan berkata
ياَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ
“Demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia”[28].
Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusiapun melainkan ia berada
diantara dua jari dari jari jemari Allâh. Jika Allâh kehendaki Allâh
akan memberi petunjuk kepadanya dan jika Allâh kehendaki maka Allâh
akan menyesatkannya”[29], kemudian beliau berdoa
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu”[30]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu”[31].
Berdoa kepada Allâh agar ibadah puasa kita diterima
Berkata Ibnu Rojab, “Para salaf, mereka berusaha
dengan bersungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan
mereka, kemudian setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan
mereka diterima, mereka takut amalan mereka tidak diterima. Mereka
itulah “Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dan hati mereka dalam keadaan takut” (QS 23:60). Diriwayatkan dari ‘Alî
beliau berkata,”Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian
diterima (setelah beramal) dari pada perhatian kalian terhadap amalan
kalian (tatkala sedang beramal), apakah kalian tidak mendengar firman
Allâh “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27).
Dari Fadhâlah dia berkata,”Saya mengetahui bahwa
Allâh menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai
daripada dunia dan seisinya karena Allâh berfirman “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.
Berkata Abûd Darda’, “Saya mengetahui bahwa Allâh
telah menerima dariku satu sholat saja lebih aku sukai dari pada bumi
dan seluruh isinya karena Allâh berfirman “Sesungguhnya Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” (QS 5:27)”.[32]”
Berkata Mâlik bin Dinar, “Rasa takut jika amalan tidak diterima itu lebih berat daripada beramal itu sendiri”.
Berkata ‘Athâ’ As-Sulamî, “Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allâh”
Abdul ‘Azîz bin Abî Ruwwâd berkata, “Aku mendapati
mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal soleh,
namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan
kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu para salaf setelah enam bulan berdoa agar
dipertemukan oleh Allâh dengan Ramadhân mereka juga berdoa setelah
Ramadhân selama enam bulan agar amalan mereka diterima.[33]
Wuhaib bin Al-Ward tatkala membaca firman Allâh
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan tatkala Ibrâhîm meninggikan (membina) pondasi Baitullâh
bersama Ismâ’îl (seraya berdoa), ”Wahai Tuhan kami terimalah dari kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahu” (QS 2:127), maka beliau (Wuhaib bin Al-Ward) pun menangis
seraya berkata, “Wahai kekasih Ar-Rahmân, engkau meninggikan rumah Ar-
Rahmân lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar- Rahmân
[34]
Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Puas (ridho)nya
seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan merupakan
indikasi bahwasanya dia tidak tahu akan keadaan dirinya. Dia tidak tahu
hak-hak Allâh dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allâh.
Ketidaktahuannya akan kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat
dalam amal ketaatannya serta ketidaktahuannya akan kebesaran Allâh dan
hak-hak-Nya menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang
penuh dengan kekurangan sehingga akhirnya dia puas dengan amal
ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub)
dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan serta
menimbulkan rasa sombong dan penyakit-penyakit hati yang lainnya yang
lebih berbahaya daripada dosa-dosa besar yang nampak seperti zina,
meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian
rasa puas terhadap amal ketaatan merupakan kepandiran dan ketololan
jiwa.
Jika kita perhatikan…ternyata mereka orang-orang yang bertakwa dan
ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allâh justru tatkala mereka
telah selesai dari amal ketaatan mereka. Hal ini dikarenakan mereka
mengakui kekurangan mereka tatkala beramal dan mereka mengakui bahwa
amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allâh.
Seandainya bukan karena perintah Allâh untuk beramal maka mereka akan
malu menghadap Allâh dengan model ibadah mereka yang penuh kekurangan
dan mereka tidak ridho ibadah yang penuh kekurangan tersebut mereka
serahkan kepada Allâh. Namun mereka tetap beribadah walalupun penuh
kekurangan untuk menjalankan perintah Allâh.
Allâh telah memerintahkan para jema’ah haji (pengunjung rumah Allâh) untuk beristighfâr setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia yaitu wukuf di Arafah. Allâh berfirman
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا الله عِنْدَ
الْمَشْعِرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوْهُ كَمَ هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُم مِنْ
قَبْلِهِ لََمِنَ الضَّآلِّيْنَ ثُمَّ أَفِيْضُوا مِنْ حِيْثُ أَفَاضَ
النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌَ َ
“Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berzikirlah
kepada Allâh di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allâh sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian, dan sesungguhnya
kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Kemudian beranjaklah kalian dari tempat beranjak orang-orang banyak
(yaitu Arafah) dan mohon ampunlah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Maha
Pengampun Lagi Maha Penyayang” (QS 2:198-199)
Allâh juga berfirman
وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ
“Dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS 3:17).
Berkata Hasan Al-Bashrî, “Mereka memanjangkan sholat malam mereka hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar) lalu mereka duduk dan beristighfâr kepada Allâh”. Dan dalam hadits yang shahih bahwasanya Nabi jika telah salam dari sholat beliau ber istighfâr tiga kali[35].
Allâh memerintah Nabi untuk ber istighfâr setelah selasai
menyampaikan risalah kenabiannya –dan beliau telah menunaikannya dengan
baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang
wafat beliau. Maka Allâh berfirman di surat yang terakhir turun kepada
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam “Apabila telah datang
pertolongan Allâh dan kemenangan. Dan Engkau melihat manusia masuk
agama Allâh dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Robmu dan mohon ampun kepada-Nya . Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat.” (QS 110:1-3)
Dari turunnya surat ini, maka ‘Umar dan Ibnu Abbâs
faham bahwa ini merupakan tanda dekatnya ajal Rasûlullâh yang Allâh
beritahukan kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Maka
Allâhpun memerintahkan beliau untuk beristighfâr setelah
beliau menunaikan tugas beliau. Maka hal ini seakan-akan pemberitahuan
bahwa engkau (wahai Rasûlullâh) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak
ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfâr. Sebagaimana juga penutup sholat, haji, sholat malam. Dan juga setelah wudhû’ beliau berkata,
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ
إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. أَللهُمَّ
اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ [36].
Dan demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang
semestinya bagi Allâh dan sesuai dengan keagunganNya dan mengerti akan
hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak, “Kapan saja engkau ridho (puas) dengan
dirimu dan amalanmu bagi Allâh, ketahuilah sesungguhnya Allâh tidak
ridho dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui
bahwasanya dirinya merupakan tempat kesalahan, aib, dan kejelekan serta
mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka
bagaimana dia bisa puas dengan amalannya? Bagaimana dia bisa ridho
amalan tersebut bagi Allâh?
Sungguh indah perkataan Syaikh Abû Madin, “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’,
dia memandang keadaannya dengan kacamata pengklaiman (pengakuan
belaka), dan memandang perkataannya dengan kacamata kedustaan. Semakin
besar apa yang engkau harapkan di hatimu maka akan semakin ciut (kecil)
jiwamu di hadapanmu, dan semakin ciut pula nilai pengorbanan yang telah
engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau
mengakui hakekat Rubûbiyah Allâh dan hakekat ‘Ubûdiyah serta
engkau mengenal Allâh dan engkau mengenal dirimu sendiri maka akan
jelas bagimu bahwa apa yang ada padamu berupa amal ketaatan tidaklah
pantas untuk diberikan kepada Allâh. Walaupun engkau datang dengan
membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia
maka engkau akan tetap takut dihukum Allâh (karena engkau takut tidak
diterima-pen). Sesungguhnya Allâh menerima amalanmu karena kemurahan
dan kemuliaan serta karunia-Nya kepadamu. Kemudian Dia memberi pahala
dan ganjaran kepadamu juga karena kemuliaan, kemurahan, dan
karunia-Nya.” [37]
Berkata Syaikh Abdur Rahmân As-Sudais, “Ketahuilah
saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci
ini, kalian juga tidak lama kemudian pastiakan berpisah dengannya.
Apakah engkau tahu –wahai hamba Allâh- apakah engkau akan bisa bertemu
dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya?? Demi
Allâh kita tidak tahu, sedangkan kita tiap hari menyolatkan puluhan
jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang
bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhâsabah dan
meluruskan kepincangan dan membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal
menjemputnya dengan tiba-tiba. Sehingga tidak bermanfaat ketika itu
kecuali amalan shâlih. Ikrarkanlah janji kepada Robb kalian di tempat
yang suci ini dan di bulan yang suci ini yang penuh barokah ini untuk
bertaubat dan penyesalan serta melepaskan diri dari kekangan
kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan
bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian kaum muslimin.”[38]
Kota Nabi,
3 Ramadhân 1425 H (16 Okt. 2004)
Daftar Pustaka:
- Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qoyyim, Tahqîq ‘Abdul ‘Aziz bin Nâshir Al-Julaiyil, Dâr At-Thayibah
- Wazhâ`if Ramadhân, Syaikh Abdur Rahmân bin Muhammad bin Qâsim.
- Ahâdîtsu ash-Shiyâm, Ahkâmuhu wa Âdabuhu, Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân.
- Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karîm, Syaikh ‘Utsaimîn, Dâr Ibnul Jauzî.
- Ramadhân Fursoh lit Tagyîr, Muhammad bin ‘Abdillâh Al-Habda.
- Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah min Mimbar Al-Ka’bah As-Syarîfah, Syaikh ‘Abdur Rahman bin ‘Abdul ‘Azîz As-Sudais.
- Fathul Bârî, Ibnu Hajar Al-‘Asqolânî, Dâr as-Salâm, Riyâdh.
- Tuhfatul Ahwadzî, Al-Mubârokfûrî, Dâr Ihyâ` At-Turâts Al-‘Arobî.
- Tafsîr Ibnu Katsîr.
[1] Yang menyedihkan ada diantara mereka yang
mengatasnamakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada
juga yang berdalih bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya
boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku…carilah amalan
yang terbaik yang bisa mendatangkan pahala yang sebanyak mungkin di
bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah….
[2] Saduran dari perkataan Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân dalam kitabnya Ahâdîts ash-Shiyâm, hal 14-15
[3] Wazhâ`if Romadhân hal 11. Adakah diantara kita yang
senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk
berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin
masih banyak diantara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar
bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain karena kita kurang
mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau mungkin bahkan
diantara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa
dengan Ramadhan….??
[4] Lihat Khutbah Syaikh As-Sudais (Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah hal 230-231)
[5] Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karîm, tafsir surat Al-Baqoroh 2/317
[6] Lihat Risalah Ramadhân Fursoh lit Taghyîr hal 13-14
[7] Wazhâ`if Romadhân hal 21
[8] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzâq dalam Mushonnaf-nya. Berkata Ibnu Rojab,”Jika
dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuhnya guna
melaksanakan sholat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh
Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh
Allah-pen). Demikian juga jika dia meniatkan dengan tidurnya di malam
hari ataupun di siang hari agar kuat untuk beramal (sholih) maka
tidurnya itu adalah ibadah” (Wazhâ`if Romadhân hal 24).
[9] Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 237
[10] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)
[11] Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân menjelaskan,”Yaitu
melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh seperti
berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya” (Âhadîtsu ash-Shiyâm hal 74)
[12] HR Al-Bukhâri no 1903, 6057. Berkata Ibnu At-Thîn,
“Zhahir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat ghibah
tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat sebagian
salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak
batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini bahwasanya ghibah
termasuk dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala
puasanya maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya”. (Al-Fath 10/582)
[13] Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 229
[14] Wazhâ`if Romadhân hal 12
[15] Ibnu Katsîr menjelaskan bahwa diantara
bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al-Qur`ân adalah
meninggalkan praktek pengamalan perintah-perintah yang terdapat dalam
Al-Qur`ân, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam
Al-Qur`ân, berpaling dari (kebiasaaan membaca) Al-Qur`ân dan
menggantikannya dengan kebiasaan membaca syair-syair atau
perkataan-perkataan atau lagu atau perkara yang sia-sia yang tidak
berlandaskan Al-Qur`ân. (Tafsir Ibnu Katsir, pada surat Al-Furqôn ayat 30)
[16] Wazhâ`if Romadhân hal 42. Berkata sebagian salaf, “Al-Qur`ân diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan), namun manusia menjadikan membaca Al-Qur`ân itulah bentuk pengamalannya”
[17] Wazhâ`if Romadhân hal 43
[18] Disadur dari perkataan Syaikh ‘Abdullâh Al-Fauzân dalam kitabnya Âhadîtsu ash-Shiyâm (hal 46-48)
[19] HR Ahmad (3/93) dan Abû Dâwûd dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam As-Shohîhah 4/134 dan berkata,’Isnadnya shohih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhârî dan Muslim”
[20] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzî dalam Shifatul Qiyâmah, bab “Al-Kais Lak Dâna Nafsahu…”, kemudian setelah menyebutkan hadits “Al-Kaisu….dst” Beliau berkata, “Dan diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab beliau berkata: “Hisablah….” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab az-Zuhud, demikian juga Ibnul Qoyyim dalam Madârijus Sâlikîn (1/319)
[21] Hilyatul Auliyâ’ 2/157
[22] Madârijus Sâlikîn 1/321
[23] Madârijus Sâlikîn 1/ 321-324
[24] HR At-Tirmidzî no 2505. Berkata At-Tirmidzî, “Ini adalah hadits hasan ghorîb”. Berkata Al-Mubârokfûri, “Hadits ini munqothi’, walau demikian At-Tirmidzî menghasankannya, kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syâhid (penguat lain) bagi hadits ini sehingga inqithâ’ (keterputusan sanadnya) tidak mempengaruhi” (Tuhfatul Ahwadzî 7/251). Namun Syaikh Al-Albânî menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits maudhû’ (palsu) dalam Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 449 dan dalam Dha’îful Jamî’ no 5710.
[25] Sebagaimana tafsiran ini dibawakan oleh At-Tirmidzî setelah meriwayatkan hadits ini
[26] HR At-Tirmidzî no 2506, dan berkata,”Ini adalah hadits hasan ghorîb” dan didhoifkan oleh Syaikh Al-Albânî dalan Dho’îf Sunan At-Tirmidzî no 450
[27] HR Al-Bukhârî 2152
[28] HR Al-Bukhârî 6617, 6628
[29] HR Ibnu Mâjah no 99, Ahmad 4/182, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah.
[30] Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dalam Shahîh Sunan At-Tirmidzî 1739
[31] HR Muslim no 2654
[32] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr surat Al-Mâ`idah ayat 27
[33] Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rojab dalam Wazhâ`if Ramadhân hal 73, kecuali atsar Abûd Darda’
[34] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr surat Al-Baqoroh ayat 127
[35] HR Muslim 591 dan Abû Dâwûd 1512
[36] Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An-Nasâ`î di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah hal 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî dan Shahîhul Jâmi’ no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At-Tirmidzî no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî.
[37] Madârijus Sâlikîn 1/327-330
[38] Dari kumpulan khutbah jum’at beliau. (Kaukabah Al-Khutob Al-Munîfah 1/ 235)