Sabtu, 21 Januari 2012

Do Good Indonesia

Dari sampul muka buku ini sudah tergambar isinya yang provokatif.
Penulisnya, David B. Berman adalah seorang Desainer Kanada yang kini aktif bergiat dalam upaya menyebarkan etika desain bersama Icograda dan Society of Graphic Design of Canada, dan beberapa organisasi profesi lainnya. ‘Creative Brief’ dari buku ini adalah: melucuti senjata penipuan massal - disarming the weapons of mass deception. Para eksekutif dan direktur pemasaran dan periklanan berbagai perusahaan besar mungkin ‘gerah’ membaca buku Berman ini. Mulai dari industri minuman soda seperti Coca Cola, ataupun industri yang terbiasa memanfaatkan tubuh perempuan sebagai penarik perhatian dalam iklan-iklannya, dan terutama sekali tentu saja, industri tembakau, semua mendapat kritik tajam dari Berman.

Berman dengan gamblang membandingkan betapa berbedanya adab beriklan di negaranya (dan negara ‘beradab’ lainnya) dibandingkan adab beriklan di negara dunia ketiga. Di Kanada, industri tembakau tak boleh memasang iklan di tempat mana kemungkinan bisa dilihat oleh anak-anak: “…all tobacco advertising likely to be viewed by children is illegal in Canada” (hlm 15). Sementara di Afrika iklan tembakau tersebar dimanapun (sebagaimana juga di Indonesia). Demikian juga etika beriklan di negara maju, termasuk juga Brazil, yang melarang ruang publik ‘dibajak’ oleh pemasangan billboard-billboard yang merampas kebebasan pemandangan yang dimiliki oleh warga kota. Beberapa hal penting yang coba diringkas oleh Berman di awal bukunya adalah (hlm2):

  •  Designers have far more power than they realize..
  • The largest threat to humanity’s future just may the consumption of more than necessary
  • The same design that fuels mass overconsumption also holds the power to repair the world.
  • We can each leave a larger legacy by propagating our best ideas than by propagating our chromosomes
  • So dont just do good design, do good.

Apa yang ingin ditekankan oleh Berman bahwa Desainer adalah sekumpulan profesional yang memiliki kemampuan dahsyat untuk mempengaruhi orang ke jalan yang benar, ke kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu Berman mengajak pembacanya untuk berjanji:
1. waktunya untuk berkomitmen adalah sekarang
2. “saya akan jujur pada profesi sasya”
3. “saya akan jujur pada diri saya”
4. “saya akan sisihkan 10 persen waktu profesional saya untuk membantu memperbaiki dunia”

Janji berbuat baik bagi para desainer ini sesungguhnya merupakan sebuah jalan tengah yang adil dan realistis. Berman, sebagaimana juga Manifesto First Things First tak pernah meminta desainer untuk meninggalkan pekerjaan yang mendatangkan uang. Masalahnya adalah bagaimana para desainer bersikap jujur dan kritis dalam menjalankan kerja kreatifnya.

Erik Spiekermann, seorang desainer dan tipografer terkenal, pada pengantarnya menyatakan bahwa ‘..kita harus sepenuhnya sadar akan apa yang kita lakukan untuk siapa kita bekerja, dan bagaimana pekerjaan itu mempengarhi orang lain… desain adalah sebuah bisnis dan harus hidup menurut aturan bisnis…” Menurut Spiekermann lebih lanjut bahwa masih ada secercah harapan untuk tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab walau di dunia bisnis/industri – sebuah dunia yang mana kita tak merasa jadi bagian darinya tapi juga tak bisa lepas dari dunia tersebut.

Buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Aikon, penerbit yang dulu pernah menerbitkan majalah komunitas gratis berwawasan lingkungan, pimpinan Enrico Halim. Dalam pengantarnya dia berharap bahwa penerbitan buku ini dapat menggugah siapapun, khususnya para desainer untuk menjadi agen perubahan sosial demi kondisi dunia yang lebih baik. Hal ini digarisbawahi pula oleh Arief ‘ayip’ Budiman, direktur eksekutif Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) yang menyatakan bahwa “upaya dan kontribusi desainer bagi perubahan sosial adalah upaya mengasah sensitifitas dan melatih kepekaan profesinya merespon setiap problematika yang ada. Menguasai problematika sosial membuat seeorang desainer memahami posisinya sebagai anggota masyarakat..” (hlm. xiv). Idealisme penerbitan buku ini pun tercermin dari upaya penerbit memberi dukungan pada percetakan sekaligus laboratorium milik Sekolah Menengah Kejuruan Grafika di Desa Putra, Srengseng Sawah, Jagakarsa – Jakarta Selatan. Sementara kertas yang dipilih adalah kertas duplikator hasil pabrik kertas di Leces – yang berbahan baku 100% kertas bekas-pakai.

Secara keseluruhan buku ini menggugah, dan terus menerus mengganggu pikiran hingga hal-hal yang nampaknya kecil: gantilah bolpen sekali-pakai-buang kita yang akan menambah tinggi gunung sampah plastik – ganti dengan bolpen permanen. Ajakan-ajakan sederhana yang mengingatkan kita, bahwa bila kita sebagai desainer ingin menciptakan perubahan melalui karya-karya desain kita, maka berubahlah lebih dulu menjadi baik, Do Good, sebelum membuat karya desain yang baik. “Be the change you want to see in the world” (Mahatma Gandhi, 1869 – 1948).
Setelah menerbitkan buku Do Good Design dalam bahasa Indonesia, aikon media publik bekerjasama dengan Adgi dan beberapa organisasi lainnya mengundang penulisnya, David Berman, ke Indonesia. Tujuannya adalah saling bertukar wawasan dan pengalaman tentang Do Good Design, yang sesungguhnya di Indonesia sendiri juga telah berlangsung dan tersebar.

David Berman yang juga menyusun kode etik profesi Icograda rencananya akan berdialog dengan Adgi tentang kode etik profesi untuk desainer grafis Indonesia. Di Jakarta program studi Desain Komunikasi Visual Universitas Bina Nusantara dan Aikon juga mengadakan workshop Better Jakarta, sebagai rangkaian acara kunjungan Berman. Selain workshop di Jakarta, Aikon dan Adgi akan melanjutkan workshop bersama David Berman di Yogyakarta dan Bali.

Adapun cetakan kedua dari Buku Do Good Design ini dimungkinkan terbit atas kerjasama Aikon, Adgi dan Dkv Binus. Dorongan untuk memperbaiki bidang profesi dan keilmuan Desain Komunikasi Visual untuk lebih mampu berperan memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat sekitarnya terus digulirkan. Selamat untuk para penggiat Do Good Indonesia!

Ajang SCOPA JUBILEE 2012

Jakarta– Bertempat di Annex Building Wisma Nusantara lt. 11-12, Kamis (19/1), PT. Surya Placejaya mengadakan konferensi pers dalam rangka malam penganugerahan Suraya Placejaya Creative On Paper Award – SCOPA JUBILEE 2012. Dalam konferensi pers tersebut hadir para perwakilan dari penyelenggara SCOPA JUBILEE, diantaranya Pramudji Suginawan selaku President Direktur PT. Surya Placejaya, Soraya selaku Ketua Panitia SCOPA JUBILEE, Andi S. Boediman dan Arief “ayip” Budiman selaku ketua ADGI dan menjadi juri dalam ajang SCOPA JUBILEE. Mereka berkesempatan untuk memaparkan tentang apa dan bagaimana serta tujuan dari diselenggarakannya SCOPA JUBILEE.

SCOPA sendiri telah berlangsung sejak tahun 1995, dimana setiap penyelenggarannya mengambil tema tertentu yang saat itu sedang menjadi tren/booming. Seperti SCOPA Kafe Tenda, saat itu banyak sekali berjamur kafe–kafe tenda yang diinisiasi oleh para public figure seperti artis dan lain lain. Kemudian ketika memasuki awal milenium baru tahun 2000-an diadakan SCOPA Milenium, dan di tahun 2012 ini diadakan SCOPA JUBILEE yang bertepatan juga dengan 25 tahun usia dari SURYA FANCY sebuah divisi dari PT. Surya Placejaya yang khusus menangani kertas–kertas fancy yang sebagian besar berkualitas pilihan dari berbagai macam pabrik penghasil kertas ternama di dunia. Selain kualitas prima dan faktor ramah lingkungan juga menjadi perhatian serius dengan sertifikasi dari FSC (Forest Stewardship Council), sebuah organisasi independen dunia yang mengawasi manajemen dan kelangsungan hidup hutan di dunia. SURYA FANCY juga telah membantu keberhasilan kiprah karya–karya dalam perkembangan dunia desain grafis Indonesia.

Pencanangan SCOPA JUBILEE telah dilakukan pada tahun 2010 diikuti dengan pembentukan panitia pelaksana acara penganugrahan. Kegiatan pengumpulan karya sendiri dimulai awal tahun 2011 yang dibagi menjadi 6 kategori sebagai berikut: 
1. Promotion tools : Brosur/Flyer/ Leaflet/ Newsletter
2. Corporate Communication : Company Profile/Annual Report
3. Corporate Identity : Letterhead/Envelope/Name Card
4. Annuals : Diary/Agenda/Calendar
5. Cards : Corporate Invitation Card/Greeting Card
6. Conceptual : Khusus bagi mahasiswa baik secara perorangan maupun kelompok

Banyaknya karya–karya yang diterima panitia yang hampir mencapai 500 karya kreatif ini, membuktikan bahwa antusiasme para insan kreatif dalam membuat sebuah karya yang memakai media kertasprinting semakin beragam. Media kertas tidak sepenuhnya ditinggalkan dan tergantikan oleh media elektronik dan digital karena media kertas masih dibutuhkan untuk membuat ragam kreatifitas yang tidak bisa tergantikan oleh media lainnya.

7 Mitos & Fakta Desain Grafis

Oleh FDGI – Surianto Rustan

Desain grafis itu komputer (harus memakai komputer)

Komputer memang digunakan dalam proses mendesain, namun tidak seluruhnya, dan bukan hal yang paling utama. Merancang solusi untuk suatu masalah adalah yang paling utama dalam desain grafis, ini dilakukan dengan riset / wawancara, membuat catatan*. Sama sekali belum menggambar, apalagi menggunakan komputer. Riset / wawancara dilakukan kepada pihak yang berhubungan dengan permasalahan, sedangkan membuat catatan untuk mengembangkan imajinasi, untuk kemungkinan solusi.

Bisa Photoshop / Illustrator / CorelDraw = bisa desain grafis

Software itu bukan desain grafis / bukan alat utama dalam desain grafis. Ia hanya alat bantu dalam membuat karya desain grafis. Bisa mengoperasikan software-nya belum tentu bisa mendesain dengan baik.

Untuk menghasilkan karya desain yang berhasil, ada tahapan kerja dan prinsip-prinsip yang harus diterapkan. Software tidak mengerti hal itu, ia hanya alat. Yang harus mempelajari adalah si pemakainya.

Desainer grafis tidak menggantungkan dirinya pada software, tapi pada otaknya yang kreatif. Riset, analisa, mencari strategi visual dan komunikasi adalah proses awal mendesain. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh Photoshop, Illustrator, CorelDraw, atausoftware lainnya, hanya otak kita yang dapat melakukannya.

Desain grafis itu membuat iklan

Membuat iklan memang salah satu pekerjaan yang cukup banyak ditekuni oleh desainer grafis, tapi bukan itu satu-satunya. Branding, editorial & penerbitan, desain kemasan /packaging, web & development, adalah di antara sekian banyak yang juga ditekuni oleh desainer grafis.

Desain grafis itu cuma make-up, menghias sesuatu supaya lebih indah

Yang sekadar menghias itu bukan desain grafis, tetapi dekorasi, tujuannya memang cuma satu: untuk memperindah. Tidak ada fungsi lainnya.

Kalau desain grafis, selain memperindah ia juga punya fungsi: menyampaikan pesan dan identitas. Tujuannya untuk menjual, memberi informasi, menanamkan citra ke benak konsumen, dan lain-lain.

Contoh: iklan handphone di majalah. Selain ia harus menarik perhatian pembaca, juga punya tugas menyampaikan pesan dengan jelas, merayu orang untuk membeli, menggambarkan citra brand tersebut.
Ini desain grafis.

Desain grafis itu masalah selera. Kalau saya bilang suka, orang lain mungkin tidak suka.

Kalau berupa dekorasi saja mungkin bisa dinilai tergantung selera pribadi: “suka”, “tidak suka”. Tetapi kalau desain grafis dinilai secara keseluruhan, maka penilaiannya jadi: “apakah ia dapat menjual?”, “apakah berhasil menginformasikan?”, “apakah terbangun citra yang diharapkan?” dan penilaian-penilaian lain yang sifatnya objektif, bukan subjektif / selera pribadi.

Untuk menjadi desainer grafis, yang paling penting punya bakat seni.

Bakat seni memang diperlukan dalam mendesain, tapi bukan segala-galanya. Kerajinan dalam berlatih, keberanian mengeksplorasi hal-hal baru, kreativitas, kemampuan logika, analisa, komunikasi, kepekaan, dan masih banyak lagi kemampuan yang lebih dibutuhkan untuk menjadi seorang desainer grafis.

Bila hanya mengandalkan bakat dan tidak mengembangkan kemampuan lainnya, tidak akan membuat seseorang menjadi desainer grafis yang baik.

Desainer grafis tidak perlu bisa menggambar
Desainer grafis harus jago menggambar

Desainer grafis perlu bisa menggambar, walaupun tidak perlu bagus sekali. Karena menggambar itu sebetulnya mengatur pemikiran / ide-ide, sebagaimana seorang penulis mengatur kata-kata dalam tulisannya.

Desainer grafis perlu punya kemampuan menggambar untuk mempermudah mewujudkan ide-idenya sendiri, atau untuk menerangkan ide tersebut kepada orang lain untuk diwujudkan secara visual, contohnya seorang art director kepada anak buahnya.

Menggali Potensi di Luar Radar

Kita sungguh beruntung bisa hidup di satu masa dimana kreativitas telah diapresiasi dengan tingkat yang luar biasa positif dibanding masa-masa sebelumnya.

Saya masih ingat dengan jelas sekitar sepuluh tahun lalu saat memulai sebuah kantor desain grafis kecil, seorang calon klien protes dengan keras,”Mas, dimana-mana nggak ada yang yang namanya biaya desain. Itu kan gratis jika saya mencetak di tempat situ to? Yang bener aja, desain grafis kok harus dibayar!”

Juga seorang pemilik percetakan yang dengan ‘cerdas’nya berkata,”Biro desain grafis itu hanya broker percetakan. Lebih baik langsung ke percetakan saja, pasti lebih murah. Nanti desainnya kita bikinkan gratis!”

Waktu pun berlalu, dan hari ini biaya selembar desain brosur A4 dua muka bisa mencapai jutaan rupiah. Desain logo bahkan puluhan milyar rupiah. Apresiasi, penghargaan dan kepercayaan masyarakat atas profesi dan industri desain grafis terus meningkat bersamaan dengan gencarnya upaya mengedukasi khalayak tentang ide, kreativitas, desain, hal-hal yang secara bawaan sering disebut intangible.

Pada awalnya, pusat desain grafis adalah Jakarta, tidak perlu dipungkiri. Karena sebagai ibukota, infrastrukturnya paling siap untuk ditumbuhi benih ide dan bisnis desain grafis. Sistem komunikasi (telepon, internet) yang maju, lokasi yang menyatu dengan pusat bisnis dan pemerintahan, klien yang sudah punya budget rutin untuk mengorder, SDM kreatif yang mengumpul bagai laron menerkam cahaya. Semuanya tersedia, tinggal dimainkan.

Tapi hari ini, situasi seperti di atas segera akan berubah dengan drastis bahkan dramatis. Bagaimana tidak? Dengan kemajuan teknologi internet yang menjangkau ujung dunia (baca: ke pelosok-pelosok desa), orang-orang kreatif kini tak perlu bersusah payah memindahkan dirinya ke Jakarta untuk berkarya dan/atau membangun bisnis desain grafis.

Apalagi dalam bisnis desain grafis dan bisnis ide lainnya tak memerlukan biaya angkut yang mahal (seperti bisnis berbasis produk), desain yang dikerjakan dengan komputer begitu selesai tinggal di-sent via email: beres dah. Diterima real time oleh klien di manapun berada. Proses pembayaran pun serupa. Hari ini tidak aneh jika ada cerita hubungan bisnis yang sukses antara klien dan biro desain grafis selama lima tahun lebih tapi tak pernah ketemu muka, tak pernah kopi darat. Semua transaksi dan pengerjaan selesai di depan komputer.

Potensi Kreatif di Luar Radar

Saya seringkali merasa tidak enak hati saat dianggap sebagai orang ‘daerah’ ketika menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saya merasa Jogja (tempat saya berdomisili) sama dan egaliter dengan Jakarta, bahkan dengan London, Washington, sama juga dengan Sleman, Brosot, Trenggalek, Sumenep. Paham yang menunjukkan ini pusat itu daerah tidak mendidik kita semua untuk bersikap egaliter, yang merasa berasal dari ‘daerah’ akan cenderung minder dan menganggap yang dari pusat selalu lebih baik. Ini harus segera dibenahi.

Padahal dari wilayah-wilayah di luar radar inilah tersimpan potensi kreatif yang luar biasa dahsyatnya, persis seekor singa perkasa yang sedang tertidur. Sekali kita bisa membangunkannya, dunia desain grafis Indonesia akan mendapatkan manfaat terbesarnya.

Berikut saya akan bahas beberapa hal menyangkut peluang dan tantangan wilayah di luar Jakarta dalam pengembangan industri desain grafis.

Aspek terpenting adalah nilai budaya lokal sebagai potensi luar biasa untuk dikembangkan, dengan keunikan dan kekuatan filosofi-nya yang tak dimiliki oleh kota-kota metropolis yang cenderung meng-global, tak punya lagi pijakan budaya yang kuat selain mengikuti arus besar modernisme. Nilai lokal bisa menjadi oase di tengah kekeringan makna budaya modern, nilai lokal menjadi sumber inspirasi penciptaan karya desain grafis yang kuat maknanya dan tak sekedar keindahan visualnya semata.

Budaya yang bersahabat masih belum banyak tercemari oleh budaya egoisme dan mau menang sendiri menjadi pendukung kuat bagi tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif yang terbentuk karena kebutuhan yang sama yang tidak semata-mata berwujud bisnis atau uang. Komunitas seperti ini subur menghiasi Bandung, Jogja, Surabaya juga Bali. Juga titik-titik pertemuan informal di warung, tempat ngopi, lapangan yang bisa didatangi siapapun dan kapanpun untuk berbagi, berdiskusi tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah diakses.

Biaya hidup dan biaya berkarya yang lebih murah membuka peluang untuk menghasilkan suatu sistem bisnis yang unggul creative output-nya dengan harga yang lebih kompetitif. Sekaligus ketersediaan SDM kreatif dari sekolah-sekolah desain grafis yang kini tumbuh makin banyak.

Apalgi perkembangan infrastruktur IT yang telah bergerak dari sekedar komputer rumahan terhubung internet, menjadi laptop nirkabel bahkan gadget seperti handphone, blackberry daniphone membuat kita bisa berkantor dan mengkreasikan ide di mana saja. Internet yang menghapus jarak juga membuka pintu-pintu peluang yang luar biasa banyaknya: kita bisa berjualan, bisa memajang karya (pameran), bisa belajar dari tokoh terbaik di dunia, tanpa harus kemana-mana. Apalagi dengan makin menjamurnya situs jejaring (baca: facebook) kita bisa terhubung langsung, sms-an, comment di wall dengan para pimpinan perusahaan, tokoh desain grafis bahkan presiden di ujung jari kita.

Tapi secanggih apapun internet, selengkap apapun informasi di dalamnya, internet takkan pernah bisa menentukan apa cita-cita hidup kita. Apa visi kita ke depan. Tanpa cita-cita yang jelas, sekarang yang terjadi memang akses internet makin meningkat tapi content yang dicari bukan yang membuat kita makin cerdas makin pintar makin bijak, sebagian besar semata-mata hiburan dan pengisi waktu luang semata tanpa nilai tambah yang berarti.

Mengapa Ide-ide Lokal Tidak Berkembang?

Kembali ke bahasan tentang pengembangan ide lokal, jika kita mau bercermin tampaklah bahwa hidup kita telah dikendalikan oleh gengsi, dalam segala bentuknya. Termasuk persetujuan implisit kita tentang kasta-kasta: ini agency Jakarta, itu agency daerah. Perusahaan multinasional, perusahaan nasional, perusahaan lokal. Mentalitas bangsa terjajah telah membuat kita sulit bersikap egaliter, pilihannya hanya arogan (buat yang merasa kelasnya lebih tinggi) atau minder (buat yang tidak percaya diri).

Celakanya, dalam hal pengolahan ide kreatifpun kasusnya gak jauh beda. Dikit-dikit menjurusnya ke stereotip: kalo ide yang global itu begini, yang lokal itu begitu. Kita sendiri yang menyimpan ketakutan dianggap melanggar adat jika tidak seperti kebanyakan orang. Kita terbiasa bersikap inferior, sadar atau tidak sadar.

Memahami kultur yang akan kita angkat menjadi sebuah tema dalam desain grafis adalah hal mutlak yang harus kita kuasai. Tanpa pemahaman yang mendalam, maka proses untuk meng-akulturasikannya dengan aspek global tidak saja bisa mengakibatkan salah persepsi tapi bahkan bisa menjadi bumerang akibat penerimaan negatif target audiens.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membawa muatan lokal yang begitu unik, menarik agar bisa diterima oleh audiens yang bahkan tidak mengerti secara jelas kultur budaya yang diangkatnya dalam sebuah karya desain grafis.

Karena tidak semua kultur lokal bisa diangkat menjadi bahasa global, ada kemungkinan kultur di suatu daerah bisa bertentangan dengan daerah lain. Contoh kecil: ‘kates’ dalam bahasa Jawa berarti ‘pepaya’, tapi dalam bahasa Sunda berarti ‘pisang’.

Bahkan, yang dianggap baik di suatu komunitas, bisa dianggap sangat buruk di komunitas yang lain. Ketelanjangan di Papua dianggap biasa, tapi jangan coba diterapkan di Aceh, misalnya. Pemahaman atas dua hal ini akan banyak membantu tercapainya proses transformasi pesan yang benar-benar pas pada audiensnya, sehingga tercipta ‘desain grafis plus’, yang pengaruhnya melebar melewati batas-batas lokalitasnya sendiri.

Creativepreneur Sebagai Jalan Keluar

Memunculkan kemandirian saya pikir menjadi fokus penting untuk mulai memberdayakan akademi dan industri desain grafis. Tanpa kemandirian, takkan tumbuh bunga kreativitas yang bermekaran dari seluruh pelosok negeri. Kemajuan takkan pernah dicapai hanya dengan menunggu, berharap pihak lain (pemerintah, kampus, industri) akan datang memberi bantuan untuk menyelesaikan persoalan.

No way! Tidak ada makan siang gratis. Upaya memperkenalkan creativepreneur sebagai enterpreneur (kewirausahaan) yang berbasis kreatif perlu terus dilakukan. Sosialisasi, seminar, workshop, penerbitan buku Success Story, Creative Competition harus terus menerus dilakukan dengan kualitas dan kuantitas yang makin progresif.

Budaya mayoritas masyarakat kita yang memilih hidup aman dengan menjadi pegawai (negeri/swasta) memang akan mempengaruhi proses ini. Inilah tantangannya, segala sesuatu ya memang akan diuji dulu di awal. Berbekal kreativitas, sesungguhnya tak pernah ada yang tak mungkin selama kita yakin dengan jalan yang kita tempuh.

Sejak awal kuliah, bahkan awal sekolah, anak didik diupayakan untuk dibimbing ke arah kemandirian. Di-encourage untuk bikin bisnis sendiri di usia belasan, ditemani dengan kasih sayang saat mengalami kegagalan, dihajar mentalnya agar tidak mudah cengeng dan dibenturkan realitas bisnis yang keras agar kuat otot dan insting bisnisnya. Alumnus perguruan tinggi harus di-upgrade dari sekedar ready to work (menjadi pekerja profesional) menjadi ready to create (menjadi wirausaha).

Manfaatkan Keajaiban Creative Giving

Satu hal lagi yang saya ingin usulkan untuk lebih mengembangkan dunia desain grafis adalah perlunya tokoh-tokoh, orang-orang pintar, praktisi industri kreatif, young entrepeneurs, para mahasiswa desain grafis atau bahkan siapapun untuk mulai berbagi dengan cara-cara kreatif.

Jika kita hanya menunggu pemerintah atau institusi bisnis menyiapkan infrastruktur untuk memajukan dan meningkatkan kecerdasan serta kreativitas anak didik dan para pekerja kreatif kita, waktunya akan terlalu lama dan belum tentu terlaksana. Terlalu banyak barrier, birokrasi dan tetek bengek aturan yang membuat upaya tersebut tidak bisa cepat terimplementasi.

Jadi memaksimalkan kekuatan ‘creative giving’ adalah cara paling praktis yang kita bisa lakukan. Tak usah dengan hal-hal yang besar, kita mulai dari hal-hal kecil dulu. Misalnya: jika kita punya pengetahuan tentang sesuatu hal, segeralah di-share kepada lebih banyak orang lewat blog, milis, facebook, website dan media-media komunikasi gratisan lainnya. Ada yang jago komunikasi, tulislah tentang pengetahuan dan pengalaman komunikasi Anda di dunia bisnis, gratiskan ilmu Anda pada yang membutuhkan, Anda akan jadi makin ahli karena bertambahnya ilmu bukannya makin berkurang.

Mental berkelimpahan, itulah yang kita perlukan. Bukan mental serba kekurangan sehingga saat punya ilmu tertentu kita takut mengajarkannya pada orang lain, takut suatu hari nanti jadi kompetitor, takut suatu hari nanti ilmunya habis dan kompetitornya lebih pintar dari dia.

Apapun yang kita punya dan sekiranya bermanfaat buat yang lain, segeralah bagikan. Jangan ditunda. Semakin banyak yang bergabung dalam gerakan ini, maka kesenjangan antara mahasiswa di pelosok dan pusat kota akan segera terjembatani. Lanjutkan terus proses memberi, manfaat terbesarnya akan kembali pada yang melakukan bukan hanya pada yang menerima pemberian itu. Dan bayaran Tuhan atas kebaikan yang kita lakukan selalu akan lebih banyak berlipat-lipat dan seringkali dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Kita Mulai Saja dan Benahi Sambil Jalan

Apa yang saya sampaikan ini hanyalah upaya kecil saja. Hanya langkah awal untuk kita semua agar mau dan mampu melihat potensi luar biasa yang tersebar di seluruh muka bumi Indonesia ini, tidak saja dari alamnya yang kaya raya tapi justru dari kreativitas masyarakatnya yang luar biasa meskipun belum banyak tergali secara maksimal.

Meninggalkan kebiasaan lama memang tidak mudah. Selalu ada keraguan ketika memutuskan untuk berubah: keluar dari zona kenyamanan yang biasa kita nikmati setiap hari dan menuju wilayah baru yang asing dan tak terpetakan. Jika keraguan atau ketakutan mulai menyerang, maka tersenyumlah.

Masa depan dunia desain grafis kita akan ditentukan oleh sekelompok minoritas yang ide-ide besarnya semula dianggap asing, tidak wajar bahkan gila. Bukan oleh kerumunan banyak orang, bukan oleh sebuah tim yang lengkap dan solid. Di kisah sukses manapun, cerita ini berulang.

Jadi jangan menunggu untuk memulai. Seorang bijak pernah berkata, resiko terbesar dalam hidup adalah tidak pernah berani mengambil resiko. Dan keteguhan atas sebuah visi di masa depan – kata Goethe – menyimpan kekuatan, kejeniusan dan keajaibannya sendiri.

Saya percaya bahwa ide-ide lokal punya potensi kekuatan luar biasa, justru karena kelokalannya. Ide kreatif yang berangkat dari lokalitas itu jumlahnya jutaan, dan jika diolah maksimal akan menjelma jadi masterpiece berkelas internasional. Keyakinan saya mengatakan industri desain grafis dan industri yang berbasis kreativitas inilah yang akan menjadi kiblat industri yang lain, untuk membuat dunia yang kita tinggali ini menjadi sedikit lebih baik. Pintu untuk menuju ke sana telah terbuka lebar, kita hanya perlu percaya dan merapikan barisan.

Jarak ribuan kilometer akan bisa ditempuh hanya dengan satu langkah, yang terus berulang. Mari kita melangkah sekarang.

Ditulis oleh: M. Arief Budiman
Program Director ADGI
Managing Director PT. Petakumpet Creative Network

Membincangkan Pemikir Desain vs Tukang Desain

Oleh: Sumbo Tinarbuko
Manakala kita melongok aktivitas perancangan desain grafis dan desain komunikasi visual di Indonesia, para desainer grafis dan desainer komunikasi visual terbelah menjadi dua kelompok besar. Masing-masing ada di kubu ‘tukang desain’ dan pada sisi lain tergabung dalam kelompok ‘pemikir desain’.

Ketika fokusnya diubah ke arah ‘pemikir desain’, maka para desainer komunikasi visual harus mengedepankan lelaku memecahkan masalah komunikasi visual dengan bantuan senjata pamungkasnya berwujud berpikir kreatif dengan mengedepankan unsur kreativitas dan inovasi dengan memajukan unsur kebaruan sebagai panglimanya. Artinya, sebagai ‘pemikir desain’ dia sedang memerankan diri menjadi seseorang yang bertugas memecahkan masalah komunikasi visual. Tugas mulia ‘pemikir desain’ menuntut konsekuensi logis dia harus merunut suatu proses mental, proses berpikir yang mampu memunculkan ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara yang efisien, efektif, unik, persuasif, dan komunikatif.

Seorang pemikir desain: harus bisa memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir secara verbal dan visual. Dia harus dapat memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir gambar maupun teks. Untuk itu, siapa pun yang menyandarkan dirinya untuk hidup di wilayah desain grafis dan desain komunikasi visual seyogianya mengedepankan serta mau merangkul ilmu strategic planning dan semiotika komunikasi visual. Kedua hal itu menjadi sokoguru yang sangat penting guna menghidupkan desain grafis dan desain komunikasi visual yang sedang matisuri.

Keberhasilan seorang ‘pemikir desain’ dalam proses berpikir kreatif dan inovatif dapat dilihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang, khususnya desain grafis dan desain komunikasi visual.

Ketika ranah desain grafis dan desain komunikasi visual banyak ‘dikuasai’ tukang desain, maka kondisinya pun bagaikan hidup segan, mati pun enggan. Masyarakat yang mengonsumsi desain grafis dan desain komunikasi visual pun pada akhirnya enggan memanfaatkan karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang dianggit pemikir desain. Semuanya ini terjadi akibat cara pandang atas keberadaan desain grafis dan desain komunikasi visual yang diposiskan sebagai benda habis pakai. Desain grafis dan desain komunikasi visual dibabtis menjadi kepanjangan tangan kapital dengan hitung-hitungan angka yang bernilai ekonomis. Akibatnya, pada titik ini, desain grafis dan desain komunikasi visual menjadi matisuri. Dalam bahasanya Andika Indrayana, desain grafis dan desain komunikasi visual berubah fungsi dari ‘desain untuk kehidupan yang lebih baik menjadi desain untuk industri yang lebih baik.’

Jalinan Sinergis antara Industri Kreatif dengan Pendidikan Tinggi Desain

Perkembangan desain grafis dan desain komunikasi visual tidak lepas dari peran pendidikan akademis. Faktor penentu lainnya: kurikulum, sarana prasarana, dan kualitas dosen sebagai garda depan pembaruan keberadaan desain grafis dan desain komunikasi visual di tengah industri kreatif yang kian marak di Indonesia.

Dengan demikian, seluruh sarana dan prasarana pendidikan, kualifikasi sumber daya manusia (dosen dan mahasiswa), kurikulum pendidikan, peraturan akademik dan lainnya diupayakan untuk dapat memperoleh lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:

Pertama, mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui studi kepustakaan dan lapangan, guna meningkatkan wawasan di bidang desain grafis dan desain komunikasi visual. Kedua, memiliki kreativitas yang tinggi untuk melakukan eksperimen-eksperiman dan inovasi baru, baik dari segi fungsional maupun estetik, sebagai upaya memberi nilai tambah terhadap karya-karya yang dihasilkan. Ketiga, mampu menciptakan karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang mengedepankan unsur baru (novelties), komunikatif dan persuasif. Terakhir, mampu melakukan prosedur penelitian, perencanaan (designing), serta melakukan presentasi, sebagai pertanggungjawaban secara konseptual atas semua karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang dibuatnya.

Berdasar kenyataan tersebut, ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana menjalin hubungan sinergis antara jagad industri, asosiasi profesi, para alumnus, lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual di Indonesia.

Upaya menjali hubungan professional yang saling membahagiakan semacam itu perlu segera diupayakan karena pihak industri menginginkan lulusan desain grafis dan desain komunikasi visual siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Pengelola industri kreatif menuntut penguasaan berbagai bidang ketrampilan terkait skill drawing, pencarian dan pengungkapan ide gagasan, pengetahuan konsep desain dan karya desain yang sudah dieksekusi, kepiawaian berkomunikasi, maupun penguasaan software dan hardware komputer. Di sisi lain, pihak industri kurang berkenan memikul tanggung jawab sebagai ‘sekolah lanjutan’ bagi lulusan perguruan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual yang akan memasuki dunia industri komunikasi visual.

Tuntutan yang sangat ideal dari pihak industri kreatif dengan serta merta memunculkan permasalahan klasik yang sulit diurai. Benang kusut semacam itu terjadi akibat bentuk kurikulum, silabi, dan sistem akreditasi atas penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual yang lebih menitikberatkan pada aspek administrasi pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual. Bukan pada bagaimana mengembangkan dan melakukann eksperimen atas realitas sosial yang terkait dengan karya desain grafis dan desain komunikasi visual.

Selain itu, faktor sumber daya manusia di lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual ikut mengusutkan benang permasalahan yang sudah kusut. Faktor sumber daya manusia itu terkait dengan kualitas dan kompetensi dosen. Tercatat, dosen pengajar desain grafis dan desain komunikasi visual terbelah menjadi dua kelompok besar, antara yang satu dengan lainnya menghuni kubu berbeda.

Pertama, dosen full akademik. Keberadaannya kurang mengikuti perkembangan industri desain grafis dan desain komunikasi visual yang sebenarnya. Kedua, dosen dengan seragam praktisi murni yang waktunya lebih banyak difokuskan untuk mencari billing, mengejar klien dan mencari ide desain baru untuk eksekusi verbal visual pekerjaan kreatifnya.

Karena itulah, sudah saatnya ranah industri kreatif desain komunikasi visual maupun ’industri pendidikan desain komunikasi visual’ saling berbagi pengalaman dan bahu membahu antara yang satu dengan lainnya. Karena masing-masing pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual memiliki keunikan serta kelebihan tersendiri. Dengan demikian, di dalamnya terjadi hubungan simbiosis mutualisma ala sekolah grafis dan desain komunikasi visual. Hal itu akan sangat membahagiakan ketika di antara parapihak dapat saling memahami karakter dan visi misi dari pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual itu sendiri.

Selanjutnya kita harus memastikan tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan akademis adalah pelajaran teori dan praktik yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pekerjaan. Kalau ini tak dijalankan maka bisa seperti rel kereta api, sejajar tetapi tak ada titik temunya.

Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri, kemudian terus menerus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Selain itu, mulai semester VI, mahasiswa sudah diarahkan menuju sebuah spesialisi yang menjadi minat dan bakat mahasiswa desain grafis dan desain komunikasi visual. Hal itu menjadi penting, karena sejatinya industri kreatif desain grafis dan desain komunikasi visual senantiasa mensyaratkan bidang pekerjaan dengan spesifikasi dan spesialisasi tertentu.

Membuka Wawasan Lebih Luas

Para pengajar seyogianya mengetahui dan berlatih menerapkan metode pengajaran desain grafis dan desain komunikasi visual yang didasarkan pada pendekatan devergen dan kovergen. Dosen diharapkan menjadi pembimbing, pembombong (motivator) dan pemomong (pelindung) mahasiswa dan tidak menempatkan diri sebagai art director atau creative director atas karya mahasiswa yang dibimbingnya.

Mahasiswa berikut dosen pembimbing perlu secara periodik memeroleh pengetahuan baru yang berkembang di industri desain grafis dan desain komunikasi visual secara praktikal maupun teoretis praktis lewat ‘dosen tamu’ yang berasal dari berbagai bidang industri kreatif desain grafis dan desain komunikasi visual.

Mahasiswa dan dosen desain grafis ataupun desain komunikasi visual wajib membuka wawasan lebih luas dengan memperkaya diri lewat bacaan yang terkait dengan teori cultural studies, ilmu humaniora dan ilmu sosial lainnya. Lewat berbagai bacaan tersebut, mahasiswa dan dosen diharapkan dapat lebih banyak melihat dan menganalisis, mempelajari kehebatan desain luar negeri dari segi ide, konsep dan cara mengomunikasi tampilan eksekusi desain grafis dan desain komunikasi visual.

*) Sumbo Tinarbuko (www.sumbotinarbuko.com) adalah Pengelola Institut Sumbo Indonesia dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.