Sabtu, 21 Januari 2012

Membincangkan Pemikir Desain vs Tukang Desain

Oleh: Sumbo Tinarbuko
Manakala kita melongok aktivitas perancangan desain grafis dan desain komunikasi visual di Indonesia, para desainer grafis dan desainer komunikasi visual terbelah menjadi dua kelompok besar. Masing-masing ada di kubu ‘tukang desain’ dan pada sisi lain tergabung dalam kelompok ‘pemikir desain’.

Ketika fokusnya diubah ke arah ‘pemikir desain’, maka para desainer komunikasi visual harus mengedepankan lelaku memecahkan masalah komunikasi visual dengan bantuan senjata pamungkasnya berwujud berpikir kreatif dengan mengedepankan unsur kreativitas dan inovasi dengan memajukan unsur kebaruan sebagai panglimanya. Artinya, sebagai ‘pemikir desain’ dia sedang memerankan diri menjadi seseorang yang bertugas memecahkan masalah komunikasi visual. Tugas mulia ‘pemikir desain’ menuntut konsekuensi logis dia harus merunut suatu proses mental, proses berpikir yang mampu memunculkan ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara yang efisien, efektif, unik, persuasif, dan komunikatif.

Seorang pemikir desain: harus bisa memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir secara verbal dan visual. Dia harus dapat memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir gambar maupun teks. Untuk itu, siapa pun yang menyandarkan dirinya untuk hidup di wilayah desain grafis dan desain komunikasi visual seyogianya mengedepankan serta mau merangkul ilmu strategic planning dan semiotika komunikasi visual. Kedua hal itu menjadi sokoguru yang sangat penting guna menghidupkan desain grafis dan desain komunikasi visual yang sedang matisuri.

Keberhasilan seorang ‘pemikir desain’ dalam proses berpikir kreatif dan inovatif dapat dilihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang, khususnya desain grafis dan desain komunikasi visual.

Ketika ranah desain grafis dan desain komunikasi visual banyak ‘dikuasai’ tukang desain, maka kondisinya pun bagaikan hidup segan, mati pun enggan. Masyarakat yang mengonsumsi desain grafis dan desain komunikasi visual pun pada akhirnya enggan memanfaatkan karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang dianggit pemikir desain. Semuanya ini terjadi akibat cara pandang atas keberadaan desain grafis dan desain komunikasi visual yang diposiskan sebagai benda habis pakai. Desain grafis dan desain komunikasi visual dibabtis menjadi kepanjangan tangan kapital dengan hitung-hitungan angka yang bernilai ekonomis. Akibatnya, pada titik ini, desain grafis dan desain komunikasi visual menjadi matisuri. Dalam bahasanya Andika Indrayana, desain grafis dan desain komunikasi visual berubah fungsi dari ‘desain untuk kehidupan yang lebih baik menjadi desain untuk industri yang lebih baik.’

Jalinan Sinergis antara Industri Kreatif dengan Pendidikan Tinggi Desain

Perkembangan desain grafis dan desain komunikasi visual tidak lepas dari peran pendidikan akademis. Faktor penentu lainnya: kurikulum, sarana prasarana, dan kualitas dosen sebagai garda depan pembaruan keberadaan desain grafis dan desain komunikasi visual di tengah industri kreatif yang kian marak di Indonesia.

Dengan demikian, seluruh sarana dan prasarana pendidikan, kualifikasi sumber daya manusia (dosen dan mahasiswa), kurikulum pendidikan, peraturan akademik dan lainnya diupayakan untuk dapat memperoleh lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:

Pertama, mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui studi kepustakaan dan lapangan, guna meningkatkan wawasan di bidang desain grafis dan desain komunikasi visual. Kedua, memiliki kreativitas yang tinggi untuk melakukan eksperimen-eksperiman dan inovasi baru, baik dari segi fungsional maupun estetik, sebagai upaya memberi nilai tambah terhadap karya-karya yang dihasilkan. Ketiga, mampu menciptakan karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang mengedepankan unsur baru (novelties), komunikatif dan persuasif. Terakhir, mampu melakukan prosedur penelitian, perencanaan (designing), serta melakukan presentasi, sebagai pertanggungjawaban secara konseptual atas semua karya desain grafis dan desain komunikasi visual yang dibuatnya.

Berdasar kenyataan tersebut, ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana menjalin hubungan sinergis antara jagad industri, asosiasi profesi, para alumnus, lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual di Indonesia.

Upaya menjali hubungan professional yang saling membahagiakan semacam itu perlu segera diupayakan karena pihak industri menginginkan lulusan desain grafis dan desain komunikasi visual siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Pengelola industri kreatif menuntut penguasaan berbagai bidang ketrampilan terkait skill drawing, pencarian dan pengungkapan ide gagasan, pengetahuan konsep desain dan karya desain yang sudah dieksekusi, kepiawaian berkomunikasi, maupun penguasaan software dan hardware komputer. Di sisi lain, pihak industri kurang berkenan memikul tanggung jawab sebagai ‘sekolah lanjutan’ bagi lulusan perguruan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual yang akan memasuki dunia industri komunikasi visual.

Tuntutan yang sangat ideal dari pihak industri kreatif dengan serta merta memunculkan permasalahan klasik yang sulit diurai. Benang kusut semacam itu terjadi akibat bentuk kurikulum, silabi, dan sistem akreditasi atas penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual yang lebih menitikberatkan pada aspek administrasi pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual. Bukan pada bagaimana mengembangkan dan melakukann eksperimen atas realitas sosial yang terkait dengan karya desain grafis dan desain komunikasi visual.

Selain itu, faktor sumber daya manusia di lembaga pendidikan tinggi desain grafis dan desain komunikasi visual ikut mengusutkan benang permasalahan yang sudah kusut. Faktor sumber daya manusia itu terkait dengan kualitas dan kompetensi dosen. Tercatat, dosen pengajar desain grafis dan desain komunikasi visual terbelah menjadi dua kelompok besar, antara yang satu dengan lainnya menghuni kubu berbeda.

Pertama, dosen full akademik. Keberadaannya kurang mengikuti perkembangan industri desain grafis dan desain komunikasi visual yang sebenarnya. Kedua, dosen dengan seragam praktisi murni yang waktunya lebih banyak difokuskan untuk mencari billing, mengejar klien dan mencari ide desain baru untuk eksekusi verbal visual pekerjaan kreatifnya.

Karena itulah, sudah saatnya ranah industri kreatif desain komunikasi visual maupun ’industri pendidikan desain komunikasi visual’ saling berbagi pengalaman dan bahu membahu antara yang satu dengan lainnya. Karena masing-masing pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual memiliki keunikan serta kelebihan tersendiri. Dengan demikian, di dalamnya terjadi hubungan simbiosis mutualisma ala sekolah grafis dan desain komunikasi visual. Hal itu akan sangat membahagiakan ketika di antara parapihak dapat saling memahami karakter dan visi misi dari pendidikan desain grafis dan desain komunikasi visual itu sendiri.

Selanjutnya kita harus memastikan tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan akademis adalah pelajaran teori dan praktik yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pekerjaan. Kalau ini tak dijalankan maka bisa seperti rel kereta api, sejajar tetapi tak ada titik temunya.

Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri, kemudian terus menerus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Selain itu, mulai semester VI, mahasiswa sudah diarahkan menuju sebuah spesialisi yang menjadi minat dan bakat mahasiswa desain grafis dan desain komunikasi visual. Hal itu menjadi penting, karena sejatinya industri kreatif desain grafis dan desain komunikasi visual senantiasa mensyaratkan bidang pekerjaan dengan spesifikasi dan spesialisasi tertentu.

Membuka Wawasan Lebih Luas

Para pengajar seyogianya mengetahui dan berlatih menerapkan metode pengajaran desain grafis dan desain komunikasi visual yang didasarkan pada pendekatan devergen dan kovergen. Dosen diharapkan menjadi pembimbing, pembombong (motivator) dan pemomong (pelindung) mahasiswa dan tidak menempatkan diri sebagai art director atau creative director atas karya mahasiswa yang dibimbingnya.

Mahasiswa berikut dosen pembimbing perlu secara periodik memeroleh pengetahuan baru yang berkembang di industri desain grafis dan desain komunikasi visual secara praktikal maupun teoretis praktis lewat ‘dosen tamu’ yang berasal dari berbagai bidang industri kreatif desain grafis dan desain komunikasi visual.

Mahasiswa dan dosen desain grafis ataupun desain komunikasi visual wajib membuka wawasan lebih luas dengan memperkaya diri lewat bacaan yang terkait dengan teori cultural studies, ilmu humaniora dan ilmu sosial lainnya. Lewat berbagai bacaan tersebut, mahasiswa dan dosen diharapkan dapat lebih banyak melihat dan menganalisis, mempelajari kehebatan desain luar negeri dari segi ide, konsep dan cara mengomunikasi tampilan eksekusi desain grafis dan desain komunikasi visual.

*) Sumbo Tinarbuko (www.sumbotinarbuko.com) adalah Pengelola Institut Sumbo Indonesia dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: